
Chairil. Setiap orang yang pernah mengenyam sekolah dasar di republik ini pernah mendengar namanya. Puisinya membentang di ingatan orang Indonesia. Seratus tahun lalu, manusia bernama Chairil Anwar lahir. Dia, rasanya, melampaui pamannya, Sutan Sjahrir, dalam hal popularitas. Bahkan, tak ada yang peduli dengan suku ayah atau ibunya.
Semua orang hanya menyimak karyanya. Tiap orang yang pernah bersentuhan dengan puisi secara intens pasti pernah berkerut-kerut kening, berberat-berat pikiran, hingga bersayu-sayu mata dalam usaha menyelami karya Chairil. Ada satu puisi Chairil yang begitu saya suka. Judulnya Sajak Putih. Isinya begini: Sajak Putih Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah…
Pertama kali membacanya saya justru bertanya-tanya kenapa Chairil menggunakan judul Sajak Putih untuk sebuah puisi yang sudah sangat patuh dengan pola a-b-a-b pada bait pertama, a-a-b-b di bait kedua, a-b-a-b pada bait ketiga. Apakah Chairil tidak percaya diri sehingga harus menggunakan kata ‘Sajak’ pada bagian judul?
Sajak Putih bagi saya adalah karya yang sangat baik dalam pilihan kata hingga menimbulkan imajinasi yang sangat indah, tetapi tetap tidak mampu menyembunyikan ketidakpercayaan diri pada penggubahnya. Ketidakpercayaan diri yang mungkin muncul dari ketidakpastian keseharian penyairnya.
Repost @sosiologpartikelir