Dewan Kesenian Metro

Dari Transkulturasi hingga Akulturasi dalam Seni Tari Tradisi dan Kontemporer

Dewan Kesenian Metro menggelar seminar bertajuk Akulturasi Tari dalam Konteks Tradisi dan Kontemporer pada 11 Maret. Acara ini menghadirkan narasumber berkompeten di bidang tari, di antaranya Reina Takeuchi, Kiki Rahmatika, Antoni, dan Susanto. Diskusi berlangsung dinamis di bawah moderator Solihin Ucok, yang turut memberikan arahan terhadap jalannya seminar.

Sebagai seorang penata tari asal Australia, Reina Takeuchi menekankan pentingnya pertemuan langsung antara berbagai budaya dalam proses penciptaan karya tari. Menurutnya, konsep transculture tidak hanya melahirkan karya seni semata, tetapi juga membuka ruang bagi terbentuknya pemahaman baru antarbudaya. Perspektif transculture ini memungkinkan adanya hubungan saling mengisi dan negosiasi dalam ranah seni tari, sehingga karya yang dihasilkan memiliki makna lebih dalam.

Pandangan serupa disampaikan oleh Kiki Rahmatika, seorang koreografer asal Lampung yang telah banyak berkecimpung dalam dunia seni di berbagai negara. Ia menegaskan bahwa transculture dalam seni tari bukan sekadar pertukaran teknik dan gerakan tubuh, melainkan juga melibatkan aspek jiwa, perilaku, dan nilai-nilai yang melekat dalam kebudayaan. Menurutnya, pendekatan ini dapat menjadi metode yang kuat dalam pengembangan seni tari sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tahan dan relevansi dalam konteks yang lebih luas.

Sementara itu, Antoni menyoroti pentingnya riset mendalam dalam proses penciptaan seni tari. Ia menegaskan bahwa pemahaman terhadap budaya tidak cukup hanya berdasarkan informasi yang diperoleh dari dunia maya, tetapi harus melalui pengalaman langsung di tengah masyarakat. Dengan riset yang mendalam, seniman tari tidak hanya menciptakan karya yang otentik dan berdaya hidup panjang, tetapi juga terhindar dari kecenderungan meniru karya orang lain.

Dalam perspektif yang berbeda, Susanto menekankan peran pendidikan seni tari dalam proses akulturasi budaya. Ia berpendapat bahwa mengajarkan tari kepada generasi muda merupakan upaya konkret dalam memperkenalkan dan mempertahankan keberagaman budaya. Namun, ia menggarisbawahi bahwa tarian harus diajarkan sesuai dengan bentuk aslinya, tanpa ada modifikasi yang berlebihan. Hal ini bertujuan agar generasi muda dapat memahami perbedaan antara tari tradisi dan tari kontemporer dengan lebih jelas. “Ajarkanlah gerakan sebagaimana aslinya, tanpa perlu ditambah atau dikurangi,” ujarnya, merujuk pada pengalamannya selama mendalami seni tari di Anjungan Lampung, Taman Mini Indonesia Indah.

Seminar ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari guru, pegiat seni tari, hingga siswa sekolah menengah. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Dewan Kesenian Metro, Solihin Ucok, menegaskan bahwa riset yang intensif sangat diperlukan untuk menciptakan karya seni yang benar-benar berbasis pada proses akulturasi yang terjadi di masyarakat. Ia menekankan bahwa karya seni, baik dalam bentuk tari maupun bentuk seni lainnya, harus mencerminkan hasil dari dinamika budaya yang berkembang secara alami. “Sebuah karya seni harus mampu merepresentasikan proses akulturasi yang autentik di masyarakat, bukan sekadar sesuatu yang dibuat-buat,” pungkasnya.

Seminar ini tidak hanya memberikan wawasan baru mengenai hubungan antara tradisi dan kontemporer dalam seni tari, tetapi juga menegaskan bahwa perpaduan budaya dalam tari harus berlandaskan pemahaman yang mendalam, penelitian yang serius, serta penghormatan terhadap akar budaya yang menjadi sumber inspirasi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top